Selasa, 06 Oktober 2009

    Rongga-Rongga Antar Batuan

    oleh: Dr. Eng. Supriyanto, M.Si
    Staf pengajar Departemen Fisika, FMIPA-UI
    Pendahuluan: rongga-rongga antar batuan

    Setelah mengetahui secara umum gambaran perjalanan air hujan pada tulisan sebelumnya, Sekarang mari kita telaah lebih dalam lagi fenomena resapan air khususnya tentang bagaimana air hujan bisa meresap ke dalam tanah. Gambar berikut ini memperlihatkan situasi bawah permukaan yang didominasi air tanah dan ditandai warna biru. Di atasnya terdapat zona atau lapisan yang didominasi ruang kosong (udara).



    Gambar berikutnya memperlihatkan bentuk mikroskopis keberadaan air tanah di dalam rongga-rongga kecil antar butiran tanah.


    Rongga-rongga kecil tersebut dinamakan pori-pori tanah. Jika rongga-rongga atau pori-pori tersebut saling berhubungan satu sama lain maka air tanah dapat bergerak di antara butir-butir batuan. Lapisan tanah seperti ini dikatakan memiliki sifat permeabel yang baik. Jadi gampangnya, lapisan permeabel adalah lapisan tanah yang didalamnya memungkinkan bagi air untuk bergerak secara leluasa, baik itu bergerak vertikal dari atas ke bawah pada saat meresap, atau bergerak secara horisontal.



    Gambar di atas memperlihatkan bentuk mikroskopis keberadaan rongga-rongga kosong diantara butiran tanah. Namun sebenarnya rongga tersebut tidak benar-benar kosong, melainkan ia berisi udara.

    Tanah yang ditumbuhi oleh rerumputan dan tumbuh-tumbuhan memiliki lebih banyak rongga dan pori-pori terbuka dipermukaannya dibandingkan tanah yang sudah tertutup bangunan dan aspal jalan raya. Itulah sebabnya bila turun hujan, air hujan bisa meresap ke bawah tanah dengan mudah dan cepat. Suatu kawasan dimana air hujan mudah meresap ke bawah tanah disebut kawasan resapan air atau disebut juga kawasan konservasi air.

    Hanya rongga kosong yang bisa menampung air
    Sekarang saya ajak anda untuk mengamati lebih detil tentang suatu syarat yang harus dipenuhi agar air hujan bisa meresap ke bawah tanah. Jadi begini, air hujan yang pada mulanya jatuh di atas permukaan tanah, ia bisa meresap ke bawah tanah jika dan hanya jika lapisan tanah di bawah permukaan tanah masih menyisakan rongga-rongga dan pori-pori yang masih kosong. Sebaliknya, jika rongga-rongga dan pori-pori dibawah sana sudah terisi penuh oleh air tanah yang sebelumnya sudah ada, maka air dari permukaan tidak bisa turun ke bawah. Coba anda perhatikan gambar ini dengan seksama.



    Fokuskan perhatian anda ke kawasan dataran tinggi, apakah anda menemukan lapisan bawah tanah yang masih menyisakan rongga dan pori kosong? Ya.. jelas ada, lapisan itu ada di atas water table. Sekarang silakan anda alihkan fokus anda ke bawah sungai itu. Apakah anda melihat lapisan tanah yang berisi rongga dan pori kosong di bawah sungai? Jawabannya pasti tidak.
    Walaupun tidak digambar disini, lingkungan danau dan situ tidak berbeda sama sekali dengan sungai, yaitu di bawahnya sama-sama tidak memiliki rongga/pori kosong lagi. Lalu apa mungkin lingkungan sungai, danau dan situ mampu menyerap air ke bawah tanah?
    Silakan perhatikan gambar yang dibawah ini.


    Ia menggambarkan kondisi bawah tanah pada musim penghujan. Silakan anda bandingkan dengan gambar yang atas tadi. Anda akan temukan sedikit perbedaan saja yaitu ketebalan lapisan tanah yang berisi rongga/pori kosong semakin mengecil atau menipis. Apa maknanya? Mengapa itu bisa terjadi? Sangat jelas sekali, air hujan yang jatuh dipermukaan tanah ia akan segera turun ke bawah mengisi rongga/pori kosong sehingga ketebalan lapisan rongga/pori kosong menjadi menipis. Permukaan air di sumur-sumur penduduk akan semakin meninggi mendekati permukaan tanah.
    Sebaliknya, air hujan di lingkungan sungai mengakibatkan air sungai meluap. Tahukah anda kenapa air itu bisa meluap? Ya tentu saja karena air hujan tidak mungkin lagi meresap ke bawah tanah lantaran memang tidak ada lagi lapisan rongga/pori kosong dibawah sungai. Hal yang sama terjadi pula di kawasan danau dan situ. Dipastikan air danau dan situ akan meluap ketika turun hujan.
    Kalau mengacu pada logika dan model di atas, apa mungkin program rehabilitasi sungai dan situ-situ yang menelan dana milyaran rupiah bisa menyulap lingkungan danau, situ dan sungai menjadi mampu meresapkan air dan akhirnya bisa menanggulangi banjir secara signifikan? Imposible, kecuali ada logika yang lain yang dalam hal ini atau saat ini terus terang saya belum tahu.

    Penutup: kawasan konservasi
    Saya ingin tegaskan sekali lagi bahwa keberadaan rongga kosong tersebut berikut volumenya sangat penting sekali karena ia akan menentukan efektifitas peresapan air hujan. Banyak sedikitnya air hujan yang bisa diserap tergantung dari ukuran volume efektif seluruh rongga-rongga kosong yang tersedia. Suatu kawasan yang memiliki volume rongga kosong yang sangat besar disebut kawasan resapan air atau disebut juga kawasan konservasi air. Kawasan tersebut memiliki potensi untuk meresapkan air ke bawah tanah dalam jumlah besar jika dan hanya jika rongga-rongga dan pori-pori tanah dari permukaan tanah sampai bawah tidak ditutupi oleh bangunan-bangunan, pluran semen dan aspal jalan raya yang mencirikan kawasan hunian perkotaan.
    Jadi seandainya Pemkot Depok tetap keukeuh untuk merealisasikan rencana penumbuhan kota baru di tiga kawasan konservasi air yaitu Limo, Sawangan dan Cimanggis, maka itu sama saja dengan memberikan mandat kepada banjir untuk menenggelamkan Jakarta lebih dahsyat dari banjir tahun ini.
    Comments (0)
    Air tanahApril 3, 2007 3:44 pm
    Rehabilitasi Situ untuk Penanggulangan Banjir Dipertanyakan
    oleh: Dr. Eng. Supriyanto, M.Si
    Staf pengajar Departemen Fisika, FMIPA-UI
    Pendahuluan
    Kita hidup di bumi ini tidak sendirian. Di sekeliling kita terdapat banyak makhluk yang juga punya hak untuk eksis di muka bumi. Salah satu makhluk yang sangat dekat dengan kita adalah air. Ia ditakdirkan untuk menjadi sesuatu yang sangat urgen bagi hidup dan kehidupan kita. Karenanya, sangatlah pantas bila kita mau mencermati peran dan fungsinya serta menjaga siklus peredarannya agar tetap stabil dalam harmoni yang sempurna dengan alam.
    Ketidakmengertian kita akan karakter air terutama bagaimana cara dia bergerak merembes atau meresap ke dalam tanah lewat pori-pori diantara butir-butir tanah, bisa jadi akan mengundang bencana alam yang sangat dahsyat seperti kejadian banjir di awal Februari 2007 di Jakarta. Bappenas memperkirakan potensi kerugian akibat banjir di DKI Jakarta dan sekitarnya mencapai Rp 4,1 triliun.
    Bencana itu sebenarnya dipicu oleh curah hujan yang cukup lebat selama 3 hari berturut-turut. Seharusnya, air hujan yang turun dari langit diberi jalan untuk masuk ke tanah secepatnya. Tapi apa mau dikata, di atas permukaan tanah telah berdiri banyak bangunan buatan manusia melewati batas keseimbangan. Ini berefek pada semakin mengecilnya kawasan terbuka hijau dimana air hujan bisa meresap ke tanah dengan leluasa. Sebaliknya, kawasan terbangun yang dibangun di wilayah Depok dan DKI Jakarta telah menutupi jalan-jalan air untuk meresap ke dalam tanah. Akibatnya, volume curah hujan yang pada saat itu mencapai rata-rata 235 mm tidak bisa masuk ke dalam tanah.
    Kemanakah air itu bergerak? Cuma ada dua instruksi yang dipahami oleh air secara berurutan, yaitu pertama, meresap ke dalam tanah jika memungkinkan; atau kedua, bergerak di permukaan tanah menuju ke tempat yang lebih rendah.
    Ketika berada di wilayah yang sebagian besar telah tertutup oleh bangunan, air tak punya cukup waktu dan tenaga untuk merembes ke bawah tanah, maka hanya tersisa satu pilihan baginya yaitu bergerak menuju ke tempat yang lebih rendah. Got, selokan, parit dan sungai adalah jalan-jalan utama aliran air hujan yang telah menjadi air permukaan. Namun karena jumlah dan daya tampung saluran air tadi sangat-sangat terbatas, apalagi jika harus berdesakan dengan sampah-sampah yang berakibat pada pendangkalan dan sumbatan pada saluran, maka dengan terpaksa air harus mengantri mengalir dan menggenangi bangunan-bangunan buatan manusia atau tumpah ruah memenuhi jalan-jalan raya. Kita menyebut fenomena ini dengan istilah banjir. Hampir 60% wilayah DKI Jakarta terendam banjir dengan kedalaman mencapai hingga 5 meter di beberapa titik lokasi banjir.
    Ketika terjadi banjir, genangan air hanya bisa berdiam atau bergerak perlahan selama beberapa jam sampai beberapa hari hingga mendapat giliran melewati sungai. Disisi lain, danau maupun situ-situ yang dikira sebagian orang bisa menampung air hujan atau malah ada yang mengira bisa meresapkan air ke bawah tanah, ternyata sangat-sangat kewalahan menampung air bah. Bukankah pada hari-hari biasa ketika tidak hujan situ-situ itu tidak pernah meresapkan air ke bawah tanah sampai habis? Maka apalagi saat terjadi hujan lebat. Dan memang sebagian besar situ-situ yang tersebar di wilayah Bogor dan Depok tidak akan mampu menahan atau membendung limpahan air hujan yang jatuh di wilayah Bogor dan Depok.
    Jadi air hujan tak punya pilihan lagi. Dia terpaksa harus mengalir ke dataran yang lebih rendah menuju Jakarta. Dan terjadilah banjir besar sebagaimana yang kita saksikan dan dirasakan perih oleh para korban. Sedikitnya 80 orang dinyatakan tewas selama 10 hari karena terseret arus, tersengat listrik, atau sakit. Warga yang mengungsi mencapai 320.000 orang hingga 7 Februari 2007.

    Pergerakan air di bawah tanah
    Dalam rangka memberikan pemahaman tentang perjalanan air hujan kepada masyarakat luas, tulisan ini sengaja dibuat dengan dilengkapi ilustrasi gambar-gambar yang semoga dapat mempermudah pemahaman para pembaca. Sebuah gambar diyakini mampu mewakili ribuan kata-kata.
    Mari kita mulai dari gambar yang satu ini. Gambar ini memperlihat sebidang tanah alami yang permukaannya ditumbuhi rerumputan dan sebatang pohon besar.


    Ketika turun hujan, air hujan mulai membasahi permukaan tanah,

    Tanah yang alami dengan tetumbuhan di atasnya menyediakan pori-pori, rongga-rongga dan celah tanah bagi air hujan sehingga air hujan bisa leluasa merembes atau meresap ke dalam tanah. Air itu akan turun hingga kedalaman beberapa puluh meter.

    Air yang berhasil meresap ke bawah tanah akan terus bergerak ke bawah sampai dia mencapai lapisan tanah atau batuan yang jarak antar butirannya sangat-sangat sempit yang tidak memungkinkan bagi air untuk melewatinya. Ini adalah lapisan yang bersifat impermeabel. Lapisan seperti ini disebut lapisan aquitard (gambar sebelah kanan bersifat impermeabel yang sulit diisi air, sementara yang kiri bersifat permeabel yang berisi air).

    Karena air tak bisa lagi turun ke bawah, maka air tadi hanya bisa mengisi ruang di antara butiran batuan di atas lapisan aquitard.

    Air yang datang kemudian akan menambah volume air yang mengisi rongga-rongga antar butiran dan akan tersimpan disana. Penambahan volume air akan berhenti seiring dengan berhentinya hujan.

    Air yang tersimpan di bawah tanah itu disebut air tanah. Sementara air yang tidak bisa diserap dan berada di permukaan tanah disebut air permukaan. Dalam suatu laporan disebutkan bahwa dalam kondisi pasca hujan, wilayah bogor mampu menyerap air hujan hingga 60% dari total curah hujan. Sementara wilayah Jakarta hanya mampu menyerap 20% saja. Lalu kemana sisanya? Tentunya jadi air permukaan yang menjelma menjadi banjir.
    Kembali lagi ke ilustrasi gambar, permukaan air tanah disebut water table, sementara lapisan tanah yang terisi air tanah disebut zona saturasi air.

    Permukaan zona saturasi — yang tak lain adalah water table tersebut — selalu mengikuti bentuk topografi atau lekuk-lekuk permukaan bumi.

    Ada hal kecil yang mungkin anda belum menyadarinya selama ini. Kita sejak kecil diajarkan bahwa sumber air sungai berasal dari mata air yang terdapat di pegunungan atau dataran tinggi. Coba amati sekali lagi gambar di atas. Bukankah anda lihat di gambar itu kalau permukaan air sungai bersesuaian dengan permukaan water table? dan bukankah water table itu terkoneksi dalam satu sistem dengan water table pada dataran di kiri dan kanan sungai? Jawabannya adalah Ya. Lalu apa artinya? Itu berarti air sungai tidak hanya berasal dari mata air pegunungan, melainkan ia juga disuplai dari water table pada dataran tinggi akibat tekanan hidrostatik. Yaitu suatu tekanan yang muncul akibat perbedaan ketinggian permukaan water table di sungai dan di daratan.

    Posisi permukaan water table di tiap musim
    Pada musim kemarau, permukaan water table akan turun hingga beberapa meter, mengakibatkan sumur-sumur penduduk menjadi kering dan sungai-sungai menjadi dangkal dan akhirnya kering. Sungai yang kering tidak lain sebagai akibat dari permukaan water table yang tidak lagi mencapai badan sungai. Melainkan sudah berada di bawah badan sungai.

    Sementara itu, pada musim penghujan, permukaan water table meninggi, mengisi sumur-sumur penduduk dan bahkan bisa meluapkan sungai-sungai.

    Logika yang kita dapat
    Seandainya di permukaan tanah masih banyak lahan terbuka yang ditumbuhi tanaman, maka air hujan akan sangat mudah meresap ke bawah tanah dan meninggikan water table. Kalau boleh disebut tangki air, maka berdasarkan model di atas yang bertindak sebagai tangki air adalah kawasan dataran tinggi di kiri-kanan aliran sungai. Kawasan inilah yang sangat potensial meresapkan air. Sementara sungai-sungai berperan sebagai jalan tol yang mempercepat perjalanan air menuju dataran rendah. Hampir tak ada peresapan air di sepanjang aliran sungai. Jadi air hujan akan cepat meresap ke dalam tanah jika dan hanya jika ia jatuh di kawasan terbuka hijau.
    Akan tetapi apabila permukaan tanah telah penuh sesak dengan bangunan bikinan manusia termasuk sarana jalan raya, maka porsi curah air hujan akan lebih banyak menjadi air permukaan yang akan segera menuju jalan tol (baca=sungai) lalu bergerak ke tempat yang lebih rendah dalam jumlah yang teramat besar.

    Penutup: apakah sungai dan danau/situ dapat meresapkan air?
    Kalau kita perhatikan dengan teliti, permukaan water table di aliran sungai selalu lebih rendah dibandingkan dengan permukaan water table di kiri-kanan sungai. Hal yang sama terjadi pula di lingkungan danau, telaga maupun situ-situ. Alih-alih untuk meresapkan air ke bawah tanah, justru pada kenyataannya, sering dijumpai pada lingkungan danau atau telaga atau situ sumber-sumber mata air yang menandakan air keluar dari bawah tanah akibat tekanan hidrostatik. Secara hidrologi, rasanya sulit sekali untuk membuktikan adanya daerah resapan air di sungai dan danau/situ.
    Jadi kalau ada anggapan, sebagaimana tertulis dalam harian Republika, bahwa dengan proyek sebesar Rp 17.8 milyar akan mampu mengubah fungsi danau atau situ yang semula sebagai daerah mata air atau sumber air atau hanya tampungan air, dan ingin direhabilitasi sehingga mampu meresapkan air, saya kira anggapan semacam ini bertentangan dengan tanda-tanda alam sebagaimana uraian di atas. Walaupun tidak menutup adanya kemungkinan yang teramat sangat kecil terjadinya resapan air di lingkungan danau/situ. Tapi justru pertanyaannya, kenapa demi kemungkinan yang sangat kecil itu dana Rp 17.8 milyar bisa mudah mengucur? Ada apa dibalik ini semua?
    Referensi:
    1. GEODe II, Geologic Explorations on Disk, Produced by Tasa Graphics Art Inc, Prentice Hall
    2. http://id.wikipedia.org/wiki/Banjir_Jakarta_2007
    3. http://www.media-indonesia.com/berita.asp?id=123927
    4. http://www.monitordepok.com/news/berita-utama/12048.html

    0 komentator:

     

    About

    Site Info

    Powered By Blogger

    ShutDown Copyright © 2009 Community is Designed by Bie